TUGAS
KELOMPOK
Makalah ini di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : ibu. Siti Zulaikha, S. Ag. MH
Disusun oleh kelompok :
Nama
: 1. Wasito Adi (1297339)
2. Yuliyana
(1297389 )
3. Febby
Setiawan ( 1296669 )
Jurusan : Syari’ah dan Ekonomi Islam
Prody/Sms : Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy)/3
Kelas : A
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
JURAI SIWO METRO
TA
1433 H / 2013 M
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas kelompok kami tentang WALI DAN SAKSI dengan sebaik-baiknya.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Munakahat yang saya
berharap makalah ini dapat di terima. Semoga makalah ini bermanfat bagi para
pembacanya. Kritik dan saran sangat saya harapkan demi penyempurnaan makalah
kami selanjutnya.
Metro,
17 September2013
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Fiqh
merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yg bisa menjadi teropong keindahan dan
kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yg terjadi diantara para fuqoha
menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal utk kreativitas
dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari’ah yg
bertujuan utk menjaga kelestarian lima aksioma yakni; Agama akal jiwa harta dan
keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yg jelas
sehingga layak utk exis sampai akhir zaman.
Patokan-patokan
dalam Fiqh Dalam mempelajari fiqh Islam telah meletakkan patokan-patokan umum
guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin yaitu melarang membahas peristiwa yg
belum terjadi sampai ia terjadi. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala “Hai
orang-orang yg beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara krn bila
diterangkan padamu nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu
ketika turunnya al-qur’an tentulah kamu akan diberi
penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha
pengampunlagi penyayang.” Dan dalam sebuah hadits ada
tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan “Aqhluthath” yakni
masalah-masalah yg belum lagi terjadi.
Pernikahan
merupakan masalah yang telah lazim didalam Islam. Karena, pernikahan merupakan
jalan dan sarana yang membuat halal pasangan laki-laki dan perempuan sesuai
dengan syaria’h islam.
Dalam
makalah ini penulis mencoba membahas tentang Akad Nikah, Mahar, Wali, dan
Saksi. Wassalamu’alaikum wr.wb.
B. RUMUSAN
MASALAH:
1. Apakah
Definisi dari Wali dan Saksi Pernikahan ?
2. Sebutkan
Macam-macam Wali dan saksi.!
3. Apakah
Syarat-syarat Wali dan saksi ?
4. Apakah
Dasar Hukum Wali dan Saksi ?
C. TUJUAN
1. mengetahui definisi wali dan saksi pernikahan
2. Mengetahui
macam-macam wali dan saksi
3. Mengetahui
syarat- syarat wali dan saksi
4. Mengetahui
dasar hukum wali dan saksi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wali
Secara Etimologis “Wali” mempunyai arti
pelindung, penolong atau penguasa.[1]
Wali memiliki banyak arti, diantaranya :
a.
Orang yang menurut hukum( agma atau
adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu
dewasa;
b.
Pengasuh pengantin perempuan pada waktu
menikah ( yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
c.
Orang saleh(suci), penyebar agama; dan
d.
Kepala pemerintah dan sebagainya. [2]
Arti-arti “wali”
di atas tentu saja pemakaiannya dapat disesuaikan dengan konteks kalimat.
Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan ini adalah wali dalam pernikahan,
yaitu yang sesuai dengan poin b.
Orang
yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila
wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun, adakalanya wali
tidak hadir atau karena sesuatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali,
maka haknya kewaliannya berpindah kepada orang lain.[3]
Wali
ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang
paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya.
Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu
adalah ahli waris dan diambil dari garis aya, bukan dari garis ibu.
Jumhur
ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut:
1.
Ayah;
2.
Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas;
3.
Saudara laki-laki seayah seibu;
4.
Saudara laki-laki seayah saja;
5.
Saudara laki-laki saudara laki-laki
seayah seibu
6.
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7.
Anak laki-laki dari anak laki-laki
saudara laki-laki seayah seibu;
8.
Anak laki-laki dari anak laki-laki
saudara laki-laki seayah;
9.
Anak laki-laki no. 7;
10. Anak
laki-laki no. 8 dan seterusnya;
11. Saudara
laki-laki ayah, seayah seibu;
12. Saudara
laki-laki ayah, seayah saja;
13. Anak
laki-laki no. 11;
14. Anak
laki-laki no. 12; dan
15. Anak
laki-laki no. 13 dan seterusnya.[4]
Singkatnya urutan wali diatas
adalah:
1.
Ayah seterusnya ke atas;
2.
Saudara laki-laki ke bawah; dan
3.
Saudara laki-laki ayah kebawah.
B.
Macam-macam
Wali
Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali
hakim(sultan), wali tahkim, dan wali maulana.
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada
hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikanan. Tentang urutan
wali nasab terdapat perbedaan pendapat diantara ulama fikih. Imam Malik
mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas ‘ashabah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak
untuk menjadi wali.
Selanjutnya, ia mengatakan anak
laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian
saudara-saudara lelaki seayah seibu, kemudian saudara lelaki seayah saja,
kemudian anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, kemudian anak
lelaki dari ssaudar lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke
atas.
Dalam Al-Mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama daripada
saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian
paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai
ke bawah, kemudaian bekas tuan (Almaula)
Imam Syaf’i berpegang pada ‘ashabah, yakni bahwa anak laki-laki termasuk ‘ashabah seorang wanita., berdasarkan
hadis Umar r.a yang ber-arti:
“wanita
tidak boleh menikah keculai dengan izin walinya, atau orang cerdik dari
kalangan keluarganya, atau penguasa.”
Sedangkan Imam Malik malik tidak
menganggap ‘ashabah pada anak, berdasarkan hadis Ummu Salamah r.a
yang ber-arti:
“sesungguhnya
Nabi Saw. Menyuruh anaknya (yakni anak ummu Salamah) untuk menikahkan (ibunya)
terhadap beliau.”
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu
wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan di atas yang termasuk
wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab’ad. Jika
nomor 1 tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali
ab’ad, dan seterusnya.
Adapun perpindahan wali aqrab kepada
wali ab’ad adalah sebagai barikut.
1.
Apabila wali aqrabnya nonmuslim,
2.
Apabila wali aqrabnya fasik,
3.
Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
4.
Apabila wali aqrabnya gila;
5.
Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.
b. Wali Hakim
Wali
hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah Saw bersabda:
”maka
hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).
Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim
adalah Pemerintah, Khalifah / Pemimpin, Penguasa, atau qadi nikah yang diberi wewenang dari kepala negara untuk menikahkan
wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada
orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang yang
terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.
Wali hakim dibenarkan
menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut.
1.
Tidak ada wali nasab;
2. Tidak
cukup syarat-syarat pada wali aqrab
atau wali ab’ad
3. Wali
aqrab gaib atau pergi dalam
perjalanan sejauh 92,5 km atau dua hari perjalanan;
4. Wali
aqrab dipenjara dan tidak bisa
ditemui;’
5. wali aqrabnya ‘adlal
6. wali
aqrabnya berbelit-belit (mempersulit)
7. wali
aqrabnya sedang ihram;
8. wali
aqrabnya sendiri yang akan menikah; dan
9. wanita
akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.[5]
Wali hakim tidak berhak menikahkan:
1.
wanita belum balig;
2.
kedua belah pihak (calon wanita &
pria) tidak sekutu;
3.
taboa seizin wanita yang akan menikah;
dan
4.
wanita yang berada di luar daerah
kekuasaannya.
c. Wali Tahkim
Wali
tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun
cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: Calon suami mengucapkan tahkim
kepada seseorang dengan kalimat, “Saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan
saya dengan si... (calon istri) dengan mahar... dan putusan bapak/saudara saya
terima dengan senang.” Setelah itu cara istri juga mengucapkan hala yang sama.
Kemudian calin harus menjawab, “Saya terma tahkim ini.”
Wali
tahkim terjadi apabila:
1.
Wali nasab tidak ada;
2.
Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh
dua hari agar perjalanan, serta tidak ada wakilnya di situ; dan
3.
Tidak ada Qadi atau pegawai pencatat
nikah, talak, dan rujuk (NTR).
d. Wali Maula
Wali
maula adalah wali yang menikahkan
budaknya. Artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang
berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud
perempuan di sini terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
3. Wali Mujbir dan Wali ‘Adlal
Orang yang kehilangan
kemampuannya, seperti orang gila, perempuan yang belum mencapai umur mumayyiz, termasuk
di dalamnya perempuan yang masih gadis, perwaliannya boleh di lakukan wali
mujbir atas dirinya.[6]
Maksud wali mujbir adalah
seseorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang di walikan di antara
golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku
juga bagi orang yang di walikan tanpa melihat rida atau tidaknya pihak yang
berada di bawah perwaliannya.
Agama mengakui wali mujbir itu
karena memerhatikan kepentingan orang
yang di walikan. Sebab, orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak
dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Di samping itu,
ia belum dapat menggunakan menggunakan akalnya untuk mengetahui kemaslahatan akad yang di
hadapinya.
Adapun yang di maksud
dengan ijbar (mujbir) adalah hak seorang
(ayah ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang
bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Tidak ada rasa permusuhan antara wali
dengan perempuan yang ia sendiri, menjadi walinya (calon pengantin wanita)
2.
Calon suaminya sekufu dengan calon
istri, atau ayah lebih tinggi; dan
3.
Calon suami sanggup membayar mahar pada
saat di langsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, hak ijba gugur. Sebenarnya, ijbar bukan harus di artikan paksaan,
tetap lebih cocok di artikan pengarahan.
Wali yang tidak mujbir adalah:
1.
Wali selain ayah, kakek dan terus ke
atas.
2.
Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang
sudah baligh, dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
3.
Bila calon pengantin wanitanya janda,
ijinnya harus jelas baik secara lisan maupun tulisan.
4.
Bila calon pengantin wanitanya masih
gadis, cukup dengan diam.
Apabila wali itu tidak mau menikahkan
wanita yang sudah baligh yang akan menikahdengan seorang pria yang kufu’, maka
di namakan wali ‘Adlal. Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung
pindah kepada wali hakim.
Bukan kepada wali ab’ad, karena
‘adlal adalah zalim, sedangkan yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah
hakim. Akan tetapi, jika’adlalnya sampai tiga kali, berarti dosa besar dan
fasik maka perwaliannya pindah ke wali ab’ad.
Lain halnya kalau ‘adlal-nya karena
sebab nyata yang di benarkan oleh syarak , maka tidak di sebut ‘adlal, seperti
wanita menikah dengan pria yang tidak kufu’, atau menikah maharnya di bawah
mitsli, atau wanita di pinang oleh pria lain yang lebih pantas (kufu’) dan
peminsng pertama.
Ma’qil bin yasar berkata, “saya
mempunyai saudara perempuan yang datang meminang saya, kemudian datang pula
kepada saya seorang laki-laki anaknya paman saya. Kemudian, saya nikahkan
saudara perempuan tersebut dengannya. Akan tetapi, keduanya bercerai dengan
talah raj’i. Hingga masa idahnya selesai, ketika datang perempuan itu untuk
meminang saya, laki-laki tadi datang pula meminangnya kembali. Lalu saya
menjawab,”tidak. Demi Allah saya tidak akan nikahkan dia selama-lamanya.” Lalu
ma’qil berkata, “dalam kejadian seperti ini maka turunlah ayat:artinya .
Apabila kamu mentalak
istri-istrimu, lalu habis masa idahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalang’i mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.
(Qs Al- Baqarah [2]:232)
Maksud bakal suaminya adalah kawin
lagi dengan mantan suaminya atau dengan laki-laki lainnya.
Selanjutnya, Ma’qil berkata,”kemudian
saya membayar kafarat atas sumpah saya, lalu saya nikahkan dia dengannya.”
5. Sifat-sifat seorang Wali
Fuqaha telah sepakat bahwa
sifat-sifat seorang wali adalah harus islam, dewasa, dan laki-laki. Akan
tetapi, fuqaha berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba sahaya, orang fasik,
dan orang yang bodoh.
Mengenai kecerdikan atau Al- Rusydu,
menurut madzab maliki, tidak termasuk syarat dalam perwalian. Pendapat senada
juga di kemukakan oleh Imam Abu Hanafiah. Akan tetapi, imam Syafi’i berpendapat
bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian, sama halnya dengan pendapat
Asyhab dan Abu Musy’ab. Perbedaan pendapat ini di sebabkan oleh kemiripan
kekuasaan dalam pernikahan dengan
kekuasaan (perwalian) dalam urusan orang idiot.
Fuqaha yang menyaratkan kecerdikan
sebagai syarat seorang wali, tetapi mereka tidak menyaratkannya dalam perwalian
atau harta benda.
Sedangkan fuqaha yang berpendapat
bahwa kecerdikan itu tidak di syaratkan dalam perwalian, tetapi mereka
mengharuskan adanya kecerdikan dalam hal yang patut untuk wanita. Dalam masalah
keadilan, ulama juga berbeda pendapat dalam kaitannya dengan kekuasaan untuk
menjadi wali, jika tidak terdapat keadilan,, maka tidak dapat di jamin bahwa
wali tidak akan memiliki calon suami yang seimbang bagi wanita yang berada di
bawah perwaliannya.
Sedangkan tentang hamba sahaya,
karena ketidaksempurnaan dari segi ahliyyah-nya, maka terdapat perselisihan
tentang perwaliannya sebagaimana di perselisihkan tentang keadilannya.
6. Wanita yang Dinikahkan oleh Dua
Wali
Apabila ada seorang wanita yang di
nikahkan oleh dua wali yang sederajat kepada dua orang laki-laki, maka boleh
jadi saat melaksanakannya lebih dahulu ketimbang yang lainnya atau waktu
pelaksanaan akad nikahnya tidak di ketahui. Jika dapat di ketahui mana yang lebih dahulu
melaksanakannya, maka fuqaha sepakat bahwa perempuan itu menjadi istrilelaki
yang pertama jika lelaki kedua belum menggaulinya. Akan tetapi, apabila lelaki
kedua (yang nikahnya kemudian) telah menggaulinya, maka fuqaha berbeda
pendapat. Sebagian mengatakan bahwa ia menjadi isteri lelaki yang kedua.
Pendapat kedua ini di kemukakan oleh Imam Malik dan Ibnu Qasim. Sedang pendapat
pertama di kemukakan oleh Imam Syafi’i dan Ibnu Abdil Hakam.
Namun, apabila kedua wali tersebut
secara bersama-sama menikahnya, tidak di perselisihkan lagi bahwa keduanya
adalah batal, termasuk apabila tidak bisa di ketahui
Yang mana yang pertama. Sebab, asalnya perempuan itu
adalah haram sehingga jelas sebab batalnya.
C.
Saksi
Dalam Akad Nikah
Pengertian dan Dasar Hukum Saksi
a.
Pengertian Saksi
Menurut
bahasa saksi adalah sebuah kata benda, dalam bahasa indonesia berarti orang
yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian)[7] .
sedangkan menurut istilah syarak, yang pada umumnya mengutamakan adalah
pengertian kesaksian. Oleh karena itu sebelum mengemukakan pengertian saksi ,
penulis lebih dahulu mengungkapkan pengertian kesaksian menurut para ulama:
Salam madkur
mengartikan kesaksian sebagai berikut:
“ kesaksian
adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan
ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.
Ibnul hamman
mengemukakan sebagai berikut :
“
pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di
depan sidang pengadilan.[8]
Muhyiddin al-ajuz
mengemukakan bahwa kesaksian adalah :
Menetapkan segala apa yang di ketahui
Dari beberapa definisi di atas dapat di ambil pengertian
bahwa yang di sebut dengan kesaksian itu memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Adanya suatu perkara atau peristiwa
sebagai objek.
b.
Dalam objek tersebut tampak hak yang
harus di tegakkan
c.
Adanya orang yang memberitahukan objek
tersebut secara apa adanya tampak komentar
d.
Orang yang memberitahukan itu memang
melihat atau benar objek tersebut
e.
Pemberitahuan tersebut di berikan kepada
orang yang berhak untuk menyatakan adanya hak bagi orang tersebut.[9]
Sedangkan
pengertian saksi menurut istilah, sebagai mana yang telah di kemukakan oleh
al-jauhari, adalah sebagai berikut: “ saksi adalah orang yang
mempertanggungjawabkan kesaksiannya dan mengemukakannya, karena dia menyaksikan
suatu (peristiwa) yang lain tidak menyaksikanya.[10]
C. Syarat- Syarat Saksi
Untuk di terima kesaksian menjadi
saksi , seorang saksi harus memenuhi beberapa syarat di bawah ini yaitu:
1. Islam
Islam
adalah syarat sah untuk di terima kesaksian saksi. Dalam hal ini , imam taqiyuddin mengutarakan:
maka saksi tidak dapat di terima dan orang kafir zalim atau kafir harabi, baik kesaksiannya
terhadap muslim maupun terhadap kafir.[11]
2.
Baliq
Baliq adalah syarat untuk dapat di
terimanya saksi.
lam
suratDa al-bagarah ayat 282.[12]
3.
berakal
Orang
gila tidak dapat di jadikan saksi. Hadis yang diriwayatkan oleh aisyah di atas
menunjukan hal tersebut di samping itu, sebagai mana yang harus di haruskan
dalam firman allah swt. Dalam surat al- bagarah ayat 282 yang artinya “ dari
saksi yang kamu ridhai”.[13]
4. adil.
Persyratan adil ini
termaktub dalam firman allah swt. Dalam surat al-thalaq ayat 2 yang artinya:
“ dan persaksikanlah dengan dua orang yang saksi
yang adil di antara kamu”.[14]
5. Dapat berbicara
Dalam
hal ini sudah barang tentu seorang saksi harus dapat berbicara.kesaksian orang
tidak bisa berbicara jelaslah yang demikian ini akan dapat menimbulkan
keraguan.oleh karenanya,apabila tidak bisa berbicara, maka kesaksian tidak bisa
di terima, sekalipun ia dapat menggunakan dengan isyarat dan isyaratnya itu
dapat di pahami,kecuali bila ia menuliskan kesaksian nya itu.
6. Ingtannya Baik
Kesaksian orang yang kemampuan daya
ingat nya sudah tidak normal,pelupa, dan
sering tersalah,jelaslah tidak dapat di terima kesaksiannya. Kesaksian orang
yang demikian ini diragukan kebenarannya,sebab akan banyak sekali yang memengaruhi ketelitianya,baik dalam
mengingat maupun dalam menggunakan kesaksianya.oleh karena itu,kesaksian tidak
dapat di terima.
7. Bersih dari Tuduhan
Persyaratan bersih dari tuduhan ini
berdasrkan hadist Nabi Muhammad SAW,yang artinya sebagai berikut
’’Dari
abdullah bin umar r.a berkata: Rasullah berkata.
“Tidak
di perbolehkan kesaksian yang khianat laki laki dan perempuan orang yang
mempunyai permusuhan terhadap saudaranya dan diperbolehkan kesaksian pembantu
rumah tangga.(H.R Abu Daud)
D. Pengaruh,Fungsi,dan Tanggung Jawab Saksi
1.
Membantu Hakim Dalam Mendudukan dan Memutuskan perkara
Tugas
hakim,sebagai penegak keadilan dan kebenaran sangatlah berat.oleh karena
itu,setiap perkara yang diadilinya mesti di periksanya seteliti dan secermat
mungkin agar ia dapat memutuskan perkara itu dengan adil dan benar. Untuk
itu,dibutuhkan ada unsur atau sesuatu yang dapat menjatuhkan keputusanya dengan
adil dan benar.
Salah
satu unsur tersebut adalah kesaksian yang diberikan secara jujur,tidak
dusta,dan tidak palsu.maka, hakim dengan segera dapat memperoleh gambaran
mengenai duduk perkara yang sebenarnya, yang pada giliranya ia akan dapat
memutuskan perkara tersebut dengan mudah.[15]
2. Mendorong Terwujudnya Sifat Jujur
Memberikan kesaksian palsu diancam dengan adzab Allah
SWT.dengan memberikan kesaksian palsu,berarti telah turut berbuat kezaliman,menghilangkan
hak orang lain,dan bahkan menipu terhadap hati nuraninya sendiri serta
menyebabkan timbulnya permusuhan dan
kebencian di antara manusia.
Menyadari Fungsi
kesaksian dan adanya ancaman hukuman yang berat bagi saksi palsu,menimbulkan rasa
tanggung jawab yang kuat sekaligus merupakan dorongan bagi diri saksi untuk
bersikap jujur dalam memberikan kesaksianya.dengan demikian, tanggung jawab
seseorang dalam memberikan kasaksianya, jelas membawa pengaruh yang positif
terhadap diri pribadinya untuk bersikap jujur di dalam hidupnya.
3. Untuk Menegakkan Keadilan
Dalam masalah menegakkan keadilan,kedudukan atau pentingnya
saksi sebagai alat pembuktian di pengadilan sangat penting.hakim sebelum
menjatuhkan keputusanya,selalu akan meminta adanya bukti bukti dari masing
masing pihak.hakim,dalam memutuskan perkara dengan kesaksian sebagai alat
bukti,akan mencari dan meneliti dengan sungguh sungguh kebenaran kesaksian
tersebut sehingga keputusan hakim dapat mewujutkan keadilan.
E. Saksi
Sebagai Salah Satu Alat Bukti
Hakim,agar dapat menyelesaikan perkara yang di ajukan
kepadanya dan menyelesaikanya itu memenuhi tuntutan keadilan,maka wajib
baginya:
1. Mengetahui
hakikat dakwaan atau gugatan.
2. Mengetahui
tentang hukum Allah tentang kasus tersebut.
Adapun pengetahuan hakim tentang hakikit dakwaan atau gugatan
itu adakalanya ia menyaksikan sendiri peristiwa atau menerima keterangan dari
pihak lain yang bersifat mutawatir.jika tidak demikian,maka tidak dapat di
sebut sebagai pengetahuan hakim,tapi hanya sebagai persangkaan(dhan).
Cara cara untuk mengetahui hakikat dakwaan/Gugatan ini ada
beberapa macam,diantaranya telah di sepakati oleh para imam mahzab,sebagian
lagi diperselisihkan.ulama dan kalangan hanafi menyebutkan,alat alat bukti yang
telah disusun dalam bentuk puisi atau nadzam yang terdiri dari tiga buah
bait.para ahli hukum islam telah sepakat, bahwa diantara alat alat bukti itu
adalah kesaksian.
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi adalah sangat penting.maka
hukum pernikahan menjadi tidak sah meskipun di umumkan oleh khalayak ramai
tanpa adanya saksi.
Menurut imam malik dan para sahabatnya,saksi dalam akad nikah
itu tidak wajib dan cukup di umumkan saja.
F. satu Jumlah
saksi dalam perkara
Ada pun jumlah saksi yang di perlukan dalam satu perkara berbeda
antara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya. Bilangan atau jumlah
saksi yang di perlukan pada masing-masing jenis perkara minimal sebagai berikut
:
1. Kesaksian empat pria
Bilangan saksi empat pria ini di perlukan dalam kesaksian
tentang perbuatan zina . para ulama sepakat mengenai jumlah saksi dalam perkara
ini. Firman allah swt. Dalam surat
al-nisa ayat 15 yang artinya sebagai berikut:
“dan (terhadap) para
wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendak ada empat orang saksi di antara
kamu ( yang menyaksikannya) dan kemudian apabila mereka telah memberikan
persaksian, maka kurungkan lah wanita –wanita itu dalam rumah sampai mereka
tiba ajalnya , sampai allah memberi jalan lain kepadanya.
2. Kesaksian tiga pria
Kesaksian ketiga ini untuk membuktikan
bahwa benar yang di ketahui oleh masyarakat itu adalah orang kaya yang telah
jatuh pailit.
3. Kesaksian dua pria
Kesaksian dua pria ini tanpa di sertai
wanita di perlukan dalam maslah hukuman had zina yang memerlukan empat saksi
pria sebagai mana yang telah di jelaskan di atas. Menurut imam malik, as
syafi’i dan ahmad yang di kutip oleh mudzakir bahwa kesaksian dua pria ini di
haruskan pula yang tidak berhubungan dengan harta benda, dimana peranan yang lebih menonjol seperti
maslah nikah , rujuk, dan wasiat.
4. Kesaksian dua pria atau seseorang
pria dan dua wanita
Kesaksian dua orang pria atau seorang
pria atau seseorang pria dan dua wanita ini berdasarkan firman allah swt. Dalam
surat al-baqarah ayat 282 yang artinya “dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki ( di antaramu)
jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh seseorang laki-laki dan
dua orang wanita.[16]
5. kesaksian seorang pria dengan
sumpah penggugat
Kesaksian seorang pria dengan sumpah
penggugat ini dapat di terima dalam masalah yang menyangkut harta benda.
Sebagai mana kesaksian seseorang pria dan dua orang wanita.
Sabda
nabi saw. Sebagai berikut:
“dari
ibnu abbas r.a bahwasannya nabi saw memutuskan perkara dngan sumpah penggugat
dan saksi pria. ( HR Muslim, Abu Dawud dan Al-nasai)
6. Kesaksian seorang pria
Kesaksian seoarang pria
yang adil dapat di terima dalam masalah ibadah, seperti adzan, shalat, dan
puasa.
Sabda nabi saw yang artinya sebagai berikut:
“Dari ibnu umar r.a ia
berkata: orang-orang ramai membicarakan hilal lalu aku memberitahukan kepada
nabi saw, sesungguhnya aku telah melihat
hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang puasa ramadhan. ( HR.
Abu Dawud dan shahihkan oleh hakim dan ibnu hibban )”.[17]
a.
Syarat-syarat
saksi
Mazhab hanafi
mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi adalah
sebagai berikut:
1.
Berakal, orang gila tidak sah menjadi
saksi
2.
Baliq, tidak sah bila saksi anak-anak
3.
Merdeka, bukan hamba sahaya
4.
Islam
5.
Keduanya mendengarkan ucapan ijab dan
kabul dari kedua belah pihak
Imam hambali mengatakan syarat-syarat saksi adalah:
1.
Dua orang laki-;laki yang baliq, berakal dan adil
2.
Keduanya beragama islam dapat berbicara
dan mendengarkan
3.
Keduanya bukan berasal dari satu
keturunan kedua mempelai
Ada
pun syarat-syarat imam syafi’i untuk menjadi seorang saksi yaitu sebagai
berikut:
1.
Dua orang saksi
2.
Berakal
3.
Baliq
4.
Islam
5.
Mendengar
6.
Adil
D.
Dasar Hukum tentang Wali Nikah
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah
adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh
wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan
ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat al-Quran yang jelas
menghendaki keberadaan wali dalam pun
ayat al-Quran yang jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan.
Tetapi dari ayat tersebut dapat dipahami menghendaki adanya wali .
Diantara ayat-ayat al-Quran yang
mengisyaratkan adanya wali adalah surat al-Baqarah ayat 232 yang artinya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya
apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui '
Kalau sang istri telah habis masa iddahnya,
dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali,
atau siapapun tidak boleh melakukan, yakni menghalang-halangi mereka, wanita
itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang
dipilihnya baik suami mereka yang telah pernah menceraikannya, maupun pria lain
yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah
haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.
Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika
mereka tidak mempunyai hak dal am perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk
menghalang-halangi.
Dari pemahaman ayat tersebut, jumhur ulama
(Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah berkesimpulan bahwa
perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri
perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah
orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri
tanpa diperlukan bantuan walinya.
Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat
diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan
pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:
Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa
menurut riwayat Ahmad “Tidak boleh nikah tanpa wali.”
Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh
empat perawi hadis selain al-Nasa’i; “Perempuan
mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal .”
Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: “Perempuan
tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan
dirinya sendiri.”
Hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama
Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat
al-Quran tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang
melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat.
KESIMPULAN
Secara Etimologis “Wali” mempunyai arti pelindung,
penolong atau penguasa.[18]
Wali memiliki banyak arti, diantaranya :
e.
Orang yang menurut hukum( agma atau
adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu
dewasa;
f.
Pengasuh pengantin perempuan pada waktu
menikah ( yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
g.
Orang saleh(suci), penyebar agama; dan
Kepala pemerintah dan sebagainya
Salah satu fungsi Hakim yaitu ,agar
dapat menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya dan menyelesaikanya itu
memenuhi tuntutan keadilan,maka wajib baginya:
1. Mengetahui
hakikat dakwaan atau gugatan.
2. Mengetahui tentang hukum Allah tentang
kasus tersebut
Pengertian
saksi Menurut bahasa saksi adalah sebuah kata benda, dalam bahasa indonesia
berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa
(kejadian). sedangkan menurut istilah syarak, yang pada umumnya mengutamakan
adalah pengertian kesaksian. Oleh karena itu sebelum mengemukakan pengertian
saksi , penulis lebih dahulu mengungkapkan pengertian kesaksian menurut para
ulama:
Salam madkur
mengartikan kesaksian sebagai berikut:
“ kesaksian adalah istilah pemberitahuan
seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk
menetapkan hak orang lain
SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UII press,
1986)
Fikih munakahat prof. Dr. H. M.A Tihami, M.A., M.M. PT raja grafindo
persada jakarta, th 2009
Fikih munakahat. Dr. Abdul aziz muhammad azzam. Amzah jln. Sawo raya
jakarta. Th 2009
[1] M. Abdul
Mujid dkk. Op. Cit.m hlm. 416.
[2]
Departemen pendidikan dan kebudayaan, op, cit., hlm. 1123
[3] H.
Rahman Hakim, op. Cit., hlm. 59.
[4] Slamet
Abidin & H. Aminuddin, op. Cit., hlm. 90-91
[5] Slamet
Abidin dan H. Aminuddin, Op. Cit., hlm 91-92
[6] Hasbi
ash-shiddieqi dkk, al-qur’an, op.cit.,
hlm. 549.
[7] Lukman
ali dkk, kamus besar bahasa indonesia, (balai pustaka : jakarta, 1988) hlm.
864.
[8] Abdullah
bin nuh dan oemar bakri, kamus arab indonesia inggris (jakarta: mutiara, tt)
hlm. 155.
[9]
Abdurrahman umar;kedudukan saksi dalam peradilan menurut hukum islam, (jakarta:
pustaka al-husna, 1996)hlm.40
[10] Ibid
[11] Imam
Taqyuddin, Op.Cit, hlm 275
[12] Hasbi
Ash-Shiddieqi dkk, Op. Cit, hlm 70
[13] Hasbi
Ash-Shiddieqi, Op. Cit, hlm 70
[14]
Ibid,hlm 945
[15]
Abdurrahman Umar, Op.Cit, hlm 77-78
[16] Hasbi
Ash-Shiddieq, Op.Cit, hlm 70
[17]
Al-Asqalani, Op.Cit, hlm.77
Wali
ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang
paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya.
Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu
adalah ahli waris dan diambil dari garis aya, bukan dari garis ibu.
Jumhur
ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut:
1.
Ayah;
2.
Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas;
3.
Saudara laki-laki seayah seibu;
4.
Saudara laki-laki seayah saja;
5.
Saudara laki-laki saudara laki-laki
seayah seibu
6.
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7.
Anak laki-laki dari anak laki-laki
saudara laki-laki seayah seibu;
8.
Anak laki-laki dari anak laki-laki
saudara laki-laki seayah;
9.
Anak laki-laki no. 7;
10. Anak
laki-laki no. 8 dan seterusnya;
11. Saudara
laki-laki ayah, seayah seibu;
12. Saudara
laki-laki ayah, seayah saja;
13. Anak
laki-laki no. 11;
14. Anak
laki-laki no. 12; dan
15. Anak
laki-laki no. 13 dan seterusnya.[18]
Singkatnya urutan wali diatas
adalah:
1.
Ayah seterusnya ke atas;
2.
Saudara laki-laki ke bawah; dan
3.
Saudara laki-laki ayah kebawah.