Jumat, 08 November 2013

Wali



TUGAS KELOMPOK
Makalah ini di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : ibu. Siti Zulaikha, S. Ag. MH

Disusun oleh kelompok :

Nama :       1. Wasito Adi (1297339)
                                      2. Yuliyana (1297389 )
                                      3. Febby Setiawan ( 1296669 )


Jurusan       : Syari’ah dan Ekonomi Islam
Prody/Sms  : Hukum Ekonomi Syari’ah (HESy)/3
Kelas          : A


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TA 1433 H / 2013 M








KATA PENGANTAR
                                                                         
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok kami tentang WALI DAN SAKSI dengan sebaik-baiknya.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat  yang saya berharap makalah ini dapat di terima. Semoga makalah ini bermanfat bagi para pembacanya. Kritik dan saran sangat saya harapkan demi penyempurnaan makalah kami selanjutnya.


Metro, 17 September2013


Pemakalah











BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yg bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yg terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal utk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syariah yg bertujuan utk menjaga kelestarian lima aksioma yakni; Agama akal jiwa harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yg jelas sehingga layak utk exis sampai akhir zaman.
Patokan-patokan dalam Fiqh Dalam mempelajari fiqh Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin yaitu melarang membahas peristiwa yg belum terjadi sampai ia terjadi. Sebagaimana Firman Allah Taala Hai orang-orang yg beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara krn bila diterangkan padamu nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya al-quran tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang. Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan Aqhluthath yakni masalah-masalah yg belum lagi terjadi.
Pernikahan merupakan masalah yang telah lazim didalam Islam. Karena, pernikahan merupakan jalan dan sarana yang membuat halal pasangan laki-laki dan perempuan sesuai dengan syariah islam.
Dalam makalah ini penulis mencoba membahas tentang Akad Nikah, Mahar, Wali, dan Saksi. Wassalamualaikum wr.wb.

B.     RUMUSAN MASALAH:
1.      Apakah Definisi dari Wali dan Saksi Pernikahan ?
2.      Sebutkan Macam-macam Wali dan saksi.!
3.      Apakah Syarat-syarat Wali dan saksi ?
4.      Apakah Dasar Hukum Wali dan Saksi ?


C.     TUJUAN
1.       mengetahui definisi wali dan saksi pernikahan
2.      Mengetahui macam-macam wali dan saksi
3.      Mengetahui syarat- syarat wali dan saksi
4.      Mengetahui dasar hukum wali dan saksi
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wali
Secara Etimologis “Wali” mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa.[1] Wali memiliki banyak arti, diantaranya :
a.       Orang yang menurut hukum( agma atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa;
b.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah ( yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
c.       Orang saleh(suci), penyebar agama; dan
d.      Kepala pemerintah dan sebagainya. [2]

Arti-arti “wali” di atas tentu saja pemakaiannya dapat disesuaikan dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan ini adalah wali dalam pernikahan, yaitu yang sesuai dengan poin b.

Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Namun, adakalanya wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali, maka haknya kewaliannya berpindah kepada orang lain.[3]

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis aya, bukan dari garis ibu.

Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut:
1.      Ayah;
2.      Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas;
3.      Saudara laki-laki seayah seibu;
4.      Saudara laki-laki seayah saja;
5.      Saudara laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
8.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
9.      Anak laki-laki no. 7;
10.  Anak laki-laki no. 8 dan seterusnya;
11.  Saudara laki-laki ayah, seayah seibu;
12.  Saudara laki-laki ayah, seayah saja;
13.  Anak laki-laki no. 11;
14.  Anak laki-laki no. 12; dan
15.  Anak laki-laki no. 13 dan seterusnya.[4]
Singkatnya urutan wali diatas adalah:
1.      Ayah seterusnya ke atas;
2.      Saudara laki-laki ke bawah; dan
3.      Saudara laki-laki ayah kebawah.





B.     Macam-macam Wali

Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim(sultan), wali tahkim, dan wali maulana.

a.    Wali Nasab

Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikanan. Tentang urutan wali nasab terdapat perbedaan pendapat diantara ulama fikih. Imam Malik mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas ‘ashabah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali.

Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara-saudara lelaki seayah seibu, kemudian saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari ssaudar lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.

Dalam Al-Mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama daripada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudaian bekas tuan (Almaula)

Imam Syaf’i berpegang pada ‘ashabah,  yakni bahwa anak laki-laki termasuk ‘ashabah seorang wanita., berdasarkan hadis Umar r.a yang ber-arti:
wanita tidak boleh menikah keculai dengan izin walinya, atau orang cerdik dari kalangan keluarganya, atau penguasa.”

Sedangkan Imam Malik malik tidak menganggap ‘ashabah  pada anak, berdasarkan hadis Ummu Salamah r.a yang ber-arti:
“sesungguhnya Nabi Saw. Menyuruh anaknya (yakni anak ummu Salamah) untuk menikahkan (ibunya) terhadap beliau.”

Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Dalam urutan di atas yang termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab’ad. Jika nomor 1 tidak ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab’ad, dan seterusnya.

Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab’ad adalah sebagai barikut.
1.      Apabila wali aqrabnya nonmuslim,
2.      Apabila wali aqrabnya fasik,
3.      Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
4.      Apabila wali aqrabnya gila;
5.      Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.

b.      Wali Hakim

Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah Saw bersabda:
            ”maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).
                           Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah Pemerintah, Khalifah / Pemimpin, Penguasa, atau qadi nikah yang diberi wewenang dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.
Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut.
1.      Tidak ada wali nasab;
2.      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad
3.      Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 km atau dua hari perjalanan;
4.      Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui;’
5.      wali aqrabnya ‘adlal
6.      wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit)
7.      wali aqrabnya sedang ihram;
8.      wali aqrabnya  sendiri yang akan menikah; dan
9.      wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.[5]
Wali hakim tidak berhak menikahkan:
1.      wanita belum balig;
2.      kedua belah pihak (calon wanita & pria) tidak sekutu;
3.      taboa seizin wanita yang akan menikah; dan
4.      wanita yang berada di luar daerah kekuasaannya.


c.       Wali Tahkim

Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: Calon suami mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan kalimat, “Saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya dengan si... (calon istri) dengan mahar... dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu cara istri juga mengucapkan hala yang sama. Kemudian calin harus menjawab, “Saya terma tahkim ini.”
Wali tahkim terjadi apabila:
1.      Wali nasab tidak ada;
2.      Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari agar perjalanan, serta tidak ada wakilnya di situ; dan
3.      Tidak ada Qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).


d.      Wali Maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan di sini terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
           3. Wali Mujbir dan Wali ‘Adlal
                      Orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, perempuan yang         belum mencapai umur mumayyiz, termasuk di dalamnya perempuan yang masih gadis, perwaliannya boleh di lakukan wali mujbir atas dirinya.[6]
                 Maksud wali mujbir adalah seseorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang di walikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang di walikan tanpa melihat rida atau tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya.
                Agama mengakui wali mujbir itu karena memerhatikan kepentingan  orang yang di walikan. Sebab, orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Di samping itu, ia belum dapat menggunakan menggunakan akalnya untuk  mengetahui kemaslahatan akad yang di hadapinya.
                Adapun yang di maksud dengan  ijbar (mujbir) adalah hak seorang (ayah ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan yang ia sendiri, menjadi walinya (calon pengantin wanita)
2.      Calon suaminya sekufu dengan calon istri, atau ayah lebih tinggi; dan
3.      Calon suami sanggup membayar mahar pada saat di langsungkan akad nikah.
          Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijba gugur. Sebenarnya, ijbar bukan harus di artikan paksaan, tetap lebih cocok di artikan pengarahan.
Wali yang tidak mujbir adalah:
1.      Wali selain ayah, kakek dan terus ke atas.
2.      Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah baligh, dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
3.      Bila calon pengantin wanitanya janda, ijinnya harus jelas baik secara lisan maupun tulisan.
4.      Bila calon pengantin wanitanya masih gadis, cukup dengan diam.
          Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan menikahdengan seorang pria yang kufu’, maka di namakan wali ‘Adlal. Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim.
          Bukan kepada wali ab’ad, karena ‘adlal adalah zalim, sedangkan yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Akan tetapi, jika’adlalnya sampai tiga kali, berarti dosa besar dan fasik maka perwaliannya pindah ke wali ab’ad.
          Lain halnya kalau ‘adlal-nya karena sebab nyata yang di benarkan oleh syarak , maka tidak di sebut ‘adlal, seperti wanita menikah dengan pria yang tidak kufu’, atau menikah maharnya di bawah mitsli, atau wanita di pinang oleh pria lain yang lebih pantas (kufu’) dan peminsng pertama.
          Ma’qil bin yasar berkata, “saya mempunyai saudara perempuan yang datang meminang saya, kemudian datang pula kepada saya seorang laki-laki anaknya paman saya. Kemudian, saya nikahkan saudara perempuan tersebut dengannya. Akan tetapi, keduanya bercerai dengan talah raj’i. Hingga masa idahnya selesai, ketika datang perempuan itu untuk meminang saya, laki-laki tadi datang pula meminangnya kembali. Lalu saya menjawab,”tidak. Demi Allah saya tidak akan nikahkan dia selama-lamanya.” Lalu ma’qil berkata, “dalam kejadian seperti ini maka turunlah ayat:artinya .
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalang’i mereka kawin lagi dengan bakal suaminya. (Qs Al- Baqarah [2]:232)
            Maksud bakal suaminya adalah kawin lagi dengan mantan suaminya atau dengan laki-laki lainnya.
            Selanjutnya, Ma’qil berkata,”kemudian saya membayar kafarat atas sumpah saya, lalu saya nikahkan dia dengannya.”
5.      Sifat-sifat seorang Wali
            Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah harus islam, dewasa, dan laki-laki. Akan tetapi, fuqaha berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba sahaya, orang fasik, dan orang yang bodoh.
           Mengenai kecerdikan atau Al- Rusydu, menurut madzab maliki, tidak termasuk syarat dalam perwalian. Pendapat senada juga di kemukakan oleh Imam Abu Hanafiah. Akan tetapi, imam Syafi’i berpendapat bahwa kecerdikan menjadi syarat dalam perwalian, sama halnya dengan pendapat Asyhab dan Abu Musy’ab. Perbedaan pendapat ini di sebabkan oleh kemiripan kekuasaan  dalam pernikahan dengan kekuasaan (perwalian) dalam urusan orang idiot.
            Fuqaha yang menyaratkan kecerdikan sebagai syarat seorang wali, tetapi mereka tidak menyaratkannya dalam perwalian atau harta benda.
            Sedangkan fuqaha yang berpendapat bahwa kecerdikan itu tidak di syaratkan dalam perwalian, tetapi mereka mengharuskan adanya kecerdikan dalam hal yang patut untuk wanita. Dalam masalah keadilan, ulama juga berbeda pendapat dalam kaitannya dengan kekuasaan untuk menjadi wali, jika tidak terdapat keadilan,, maka tidak dapat di jamin bahwa wali tidak akan memiliki calon suami yang seimbang bagi wanita yang berada di bawah perwaliannya.
           Sedangkan tentang hamba sahaya, karena ketidaksempurnaan dari segi ahliyyah-nya, maka terdapat perselisihan tentang perwaliannya sebagaimana di perselisihkan tentang keadilannya.
6.      Wanita yang Dinikahkan oleh Dua Wali
            Apabila ada seorang wanita yang di nikahkan oleh dua wali yang sederajat kepada dua orang laki-laki, maka boleh jadi saat melaksanakannya lebih dahulu ketimbang yang lainnya atau waktu pelaksanaan akad nikahnya tidak di ketahui. Jika  dapat di ketahui mana yang lebih dahulu melaksanakannya, maka fuqaha sepakat bahwa perempuan itu menjadi istrilelaki yang pertama jika lelaki kedua belum menggaulinya. Akan tetapi, apabila lelaki kedua (yang nikahnya kemudian) telah menggaulinya, maka fuqaha berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa ia menjadi isteri lelaki yang kedua. Pendapat kedua ini di kemukakan oleh Imam Malik dan Ibnu Qasim. Sedang pendapat pertama di kemukakan oleh Imam Syafi’i dan Ibnu Abdil Hakam.
            Namun, apabila kedua wali tersebut secara bersama-sama menikahnya, tidak di perselisihkan lagi bahwa keduanya adalah batal, termasuk apabila tidak bisa di ketahui
Yang mana yang pertama. Sebab, asalnya perempuan itu adalah haram sehingga jelas sebab batalnya.
C.    Saksi Dalam Akad Nikah
Pengertian dan Dasar Hukum Saksi
a.       Pengertian Saksi
Menurut bahasa saksi adalah sebuah kata benda, dalam bahasa indonesia berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian)[7] . sedangkan menurut istilah syarak, yang pada umumnya mengutamakan adalah pengertian kesaksian. Oleh karena itu sebelum mengemukakan pengertian saksi , penulis lebih dahulu mengungkapkan pengertian kesaksian menurut para ulama:

Salam madkur mengartikan kesaksian sebagai berikut:
“ kesaksian adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.

Ibnul hamman mengemukakan sebagai berikut :
“ pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.[8]
Muhyiddin al-ajuz mengemukakan bahwa kesaksian adalah :
Menetapkan segala apa yang di ketahui
        Dari beberapa definisi di atas dapat di ambil pengertian bahwa yang di sebut dengan kesaksian itu memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.          Adanya suatu perkara atau peristiwa sebagai objek.
b.         Dalam objek tersebut tampak hak yang harus di tegakkan
c.          Adanya orang yang memberitahukan objek tersebut secara apa adanya tampak komentar
d.         Orang yang memberitahukan itu memang melihat  atau benar objek tersebut
e.          Pemberitahuan tersebut di berikan kepada orang yang berhak untuk menyatakan adanya hak bagi orang tersebut.[9]

Sedangkan pengertian saksi menurut istilah, sebagai mana yang telah di kemukakan oleh al-jauhari, adalah sebagai berikut: “ saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan kesaksiannya dan mengemukakannya, karena dia menyaksikan suatu (peristiwa) yang lain tidak menyaksikanya.[10]


C. Syarat- Syarat Saksi
       
            Untuk di terima kesaksian menjadi saksi , seorang saksi harus memenuhi beberapa syarat di bawah ini yaitu:

1.      Islam        
Islam adalah syarat sah untuk di terima kesaksian saksi.  Dalam hal ini , imam taqiyuddin mengutarakan: maka saksi tidak dapat di terima dan orang kafir zalim atau kafir harabi, baik kesaksiannya terhadap muslim maupun terhadap kafir.[11]

2.       Baliq
            Baliq adalah syarat untuk dapat di terimanya saksi.
lam suratDa al-bagarah ayat 282.[12]
3.      berakal
        Orang gila tidak dapat di jadikan saksi. Hadis yang diriwayatkan oleh aisyah di atas menunjukan hal tersebut di samping itu, sebagai mana yang harus di haruskan dalam firman allah swt. Dalam surat al- bagarah ayat 282 yang artinya “ dari saksi yang kamu ridhai”.[13]

4.      adil.
Persyratan adil ini termaktub dalam firman allah swt. Dalam surat al-thalaq ayat 2 yang artinya:
“ dan persaksikanlah dengan dua orang yang saksi yang adil di antara kamu”.[14]

5.      Dapat berbicara
Dalam hal ini sudah barang tentu seorang saksi harus dapat berbicara.kesaksian orang tidak bisa berbicara jelaslah yang demikian ini akan dapat menimbulkan keraguan.oleh karenanya,apabila tidak bisa berbicara, maka kesaksian tidak bisa di terima, sekalipun ia dapat menggunakan dengan isyarat dan isyaratnya itu dapat di pahami,kecuali bila ia menuliskan kesaksian nya itu.

6.      Ingtannya Baik
        Kesaksian orang yang kemampuan daya ingat nya  sudah tidak normal,pelupa, dan sering tersalah,jelaslah tidak dapat di terima kesaksiannya. Kesaksian orang yang demikian ini diragukan kebenarannya,sebab akan banyak sekali  yang memengaruhi ketelitianya,baik dalam mengingat maupun dalam menggunakan kesaksianya.oleh karena itu,kesaksian tidak dapat di terima.

7.      Bersih dari Tuduhan
            Persyaratan bersih dari tuduhan ini berdasrkan hadist Nabi Muhammad SAW,yang artinya sebagai berikut
’’Dari abdullah bin umar r.a berkata: Rasullah berkata.
“Tidak di perbolehkan kesaksian yang khianat laki laki dan perempuan orang yang mempunyai permusuhan terhadap saudaranya dan diperbolehkan kesaksian pembantu rumah tangga.(H.R Abu Daud)
           

D. Pengaruh,Fungsi,dan Tanggung Jawab Saksi

1.          Membantu Hakim Dalam Mendudukan dan  Memutuskan perkara

Tugas hakim,sebagai penegak keadilan dan kebenaran sangatlah berat.oleh karena itu,setiap perkara yang diadilinya mesti di periksanya seteliti dan secermat mungkin agar ia dapat memutuskan perkara itu dengan adil dan benar. Untuk itu,dibutuhkan ada unsur atau sesuatu yang dapat menjatuhkan keputusanya dengan adil dan benar.
Salah satu unsur tersebut adalah kesaksian yang diberikan secara jujur,tidak dusta,dan tidak palsu.maka, hakim dengan segera dapat memperoleh gambaran mengenai duduk perkara yang sebenarnya, yang pada giliranya ia akan dapat memutuskan perkara tersebut dengan mudah.[15]



2.      Mendorong Terwujudnya Sifat Jujur
        Memberikan kesaksian palsu diancam dengan adzab Allah SWT.dengan memberikan kesaksian palsu,berarti telah turut berbuat kezaliman,menghilangkan hak orang lain,dan bahkan menipu terhadap hati nuraninya sendiri serta menyebabkan  timbulnya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Menyadari Fungsi kesaksian dan adanya ancaman hukuman yang berat bagi saksi palsu,menimbulkan rasa tanggung jawab yang kuat sekaligus merupakan dorongan bagi diri saksi untuk bersikap jujur dalam memberikan kesaksianya.dengan demikian, tanggung jawab seseorang dalam memberikan kasaksianya, jelas membawa pengaruh yang positif terhadap diri pribadinya untuk bersikap jujur di dalam hidupnya.
3.      Untuk Menegakkan Keadilan
        Dalam masalah menegakkan keadilan,kedudukan atau pentingnya saksi sebagai alat pembuktian di pengadilan sangat penting.hakim sebelum menjatuhkan keputusanya,selalu akan meminta adanya bukti bukti dari masing masing pihak.hakim,dalam memutuskan perkara dengan kesaksian sebagai alat bukti,akan mencari dan meneliti dengan sungguh sungguh kebenaran kesaksian tersebut sehingga keputusan hakim dapat mewujutkan keadilan.
E. Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti
        Hakim,agar dapat menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya dan menyelesaikanya itu memenuhi tuntutan keadilan,maka wajib baginya:
        1. Mengetahui hakikat dakwaan atau gugatan.
        2. Mengetahui tentang hukum Allah tentang kasus tersebut.
        Adapun pengetahuan hakim tentang hakikit dakwaan atau gugatan itu adakalanya ia menyaksikan sendiri peristiwa atau menerima keterangan dari pihak lain yang bersifat mutawatir.jika tidak demikian,maka tidak dapat di sebut sebagai pengetahuan hakim,tapi hanya sebagai persangkaan(dhan).
        Cara cara untuk mengetahui hakikat dakwaan/Gugatan ini ada beberapa macam,diantaranya telah di sepakati oleh para imam mahzab,sebagian lagi diperselisihkan.ulama dan kalangan hanafi menyebutkan,alat alat bukti yang telah disusun dalam bentuk puisi atau nadzam yang terdiri dari tiga buah bait.para ahli hukum islam telah sepakat, bahwa diantara alat alat bukti itu adalah kesaksian.
        Jumhur ulama sepakat bahwa saksi adalah sangat penting.maka hukum pernikahan menjadi tidak sah meskipun di umumkan oleh khalayak ramai tanpa adanya saksi.
        Menurut imam malik dan para sahabatnya,saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup di umumkan saja.
F. satu Jumlah saksi dalam perkara
        Ada pun jumlah saksi yang di perlukan dalam satu perkara berbeda antara perkara yang satu dengan perkara yang lainnya. Bilangan atau jumlah saksi yang di perlukan pada masing-masing jenis perkara minimal sebagai berikut :
1.      Kesaksian empat pria
Bilangan saksi  empat pria ini di perlukan dalam kesaksian tentang perbuatan zina . para ulama sepakat mengenai jumlah saksi dalam perkara ini.  Firman allah swt. Dalam surat al-nisa ayat 15 yang artinya sebagai berikut:
“dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendak ada empat orang saksi di antara kamu ( yang menyaksikannya) dan kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurungkan lah wanita –wanita itu dalam rumah sampai mereka tiba ajalnya , sampai allah memberi jalan lain kepadanya.
2.      Kesaksian tiga pria
Kesaksian ketiga ini untuk membuktikan bahwa benar yang di ketahui oleh masyarakat itu adalah orang kaya yang telah jatuh pailit.

3.      Kesaksian dua pria
Kesaksian dua pria ini tanpa di sertai wanita di perlukan dalam maslah hukuman had zina yang memerlukan empat saksi pria sebagai mana yang telah di jelaskan di atas. Menurut imam malik, as syafi’i dan ahmad yang di kutip oleh mudzakir bahwa kesaksian dua pria ini di haruskan pula yang tidak berhubungan dengan harta benda,  dimana peranan yang lebih menonjol seperti maslah nikah , rujuk, dan wasiat.

4.      Kesaksian dua pria atau seseorang pria dan dua wanita
Kesaksian dua orang pria atau seorang pria atau seseorang pria dan dua wanita ini berdasarkan firman allah swt. Dalam surat al-baqarah ayat 282 yang artinya “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki ( di antaramu)  jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh seseorang laki-laki dan dua orang wanita.[16]

5.      kesaksian seorang pria dengan sumpah penggugat
            Kesaksian seorang pria dengan sumpah penggugat ini dapat di terima dalam masalah yang menyangkut harta benda. Sebagai mana kesaksian seseorang pria dan dua orang wanita.

Sabda nabi saw. Sebagai berikut:
“dari ibnu abbas r.a bahwasannya nabi saw memutuskan perkara dngan sumpah penggugat dan saksi pria. ( HR Muslim, Abu Dawud dan Al-nasai)

6.      Kesaksian seorang pria
Kesaksian seoarang pria yang adil dapat di terima dalam masalah ibadah, seperti adzan, shalat, dan puasa.
Sabda nabi saw yang artinya sebagai berikut:
“Dari ibnu umar r.a ia berkata: orang-orang ramai membicarakan hilal lalu aku memberitahukan kepada nabi saw,  sesungguhnya aku telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang puasa ramadhan. ( HR. Abu Dawud dan shahihkan oleh hakim dan ibnu hibban )”.[17]
a.         Syarat-syarat saksi
Mazhab hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi adalah sebagai berikut:
1.      Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi
2.      Baliq, tidak sah bila saksi anak-anak
3.      Merdeka, bukan hamba sahaya
4.      Islam
5.      Keduanya mendengarkan ucapan ijab dan kabul dari kedua belah pihak
Imam hambali mengatakan syarat-syarat saksi adalah:
1.         Dua orang  laki-;laki yang baliq, berakal dan adil
2.         Keduanya beragama islam dapat berbicara dan mendengarkan
3.         Keduanya bukan berasal dari satu keturunan kedua mempelai

Ada pun syarat-syarat imam syafi’i untuk menjadi seorang saksi yaitu sebagai berikut:
1.         Dua orang saksi
2.         Berakal
3.         Baliq
4.         Islam
5.         Mendengar
6.         Adil



D.    Dasar Hukum tentang Wali Nikah

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat al-Quran yang jelas menghendaki keberadaan wali dalam   pun ayat al-Quran yang jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut dapat dipahami menghendaki adanya wali .
Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah surat al-Baqarah ayat 232 yang artinya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui '
Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak boleh melakukan, yakni menghalang-halangi mereka, wanita itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilihnya baik suami mereka yang telah pernah menceraikannya, maupun pria lain yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.
Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dal am perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.
Dari pemahaman ayat tersebut, jumhur ulama (Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan bantuan walinya.
Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:
Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad Tidak boleh nikah tanpa wali.
Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain al-Nasai; Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal .
Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.
Hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat.



















KESIMPULAN

Secara Etimologis “Wali” mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa.[18] Wali memiliki banyak arti, diantaranya :
e.       Orang yang menurut hukum( agma atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa;
f.       Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah ( yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
g.      Orang saleh(suci), penyebar agama; dan
Kepala pemerintah dan sebagainya
Salah satu fungsi Hakim yaitu ,agar dapat menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya dan menyelesaikanya itu memenuhi tuntutan keadilan,maka wajib baginya:
        1. Mengetahui hakikat dakwaan atau gugatan.
    2. Mengetahui tentang hukum Allah tentang kasus tersebut

Pengertian saksi Menurut bahasa saksi adalah sebuah kata benda, dalam bahasa indonesia berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). sedangkan menurut istilah syarak, yang pada umumnya mengutamakan adalah pengertian kesaksian. Oleh karena itu sebelum mengemukakan pengertian saksi , penulis lebih dahulu mengungkapkan pengertian kesaksian menurut para ulama:

Salam madkur mengartikan kesaksian sebagai berikut:
“ kesaksian adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar di depan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain











SARAN




DAFTAR PUSTAKA

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UII press, 1986)
Fikih munakahat prof. Dr. H. M.A Tihami, M.A., M.M. PT raja grafindo persada jakarta, th 2009
Fikih munakahat. Dr. Abdul aziz muhammad azzam. Amzah jln. Sawo raya jakarta. Th 2009



[1] M. Abdul Mujid dkk. Op. Cit.m hlm. 416.
[2] Departemen pendidikan dan kebudayaan, op, cit., hlm. 1123
[3] H. Rahman Hakim, op. Cit., hlm. 59.
[4] Slamet Abidin & H. Aminuddin, op. Cit., hlm. 90-91
[5] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Op. Cit., hlm 91-92
[6] Hasbi ash-shiddieqi dkk, al-qur’an, op.cit., hlm. 549.
[7] Lukman ali dkk, kamus besar bahasa indonesia, (balai pustaka : jakarta, 1988) hlm. 864.
[8] Abdullah bin nuh dan oemar bakri, kamus arab indonesia inggris (jakarta: mutiara, tt) hlm. 155.
[9] Abdurrahman umar;kedudukan saksi dalam peradilan menurut hukum islam, (jakarta: pustaka al-husna, 1996)hlm.40

[10] Ibid
[11] Imam Taqyuddin, Op.Cit, hlm 275
[12] Hasbi Ash-Shiddieqi dkk, Op. Cit, hlm 70
[13] Hasbi Ash-Shiddieqi, Op. Cit, hlm 70
[14] Ibid,hlm 945
[15] Abdurrahman Umar, Op.Cit, hlm 77-78
[16] Hasbi Ash-Shiddieq, Op.Cit, hlm 70
[17] Al-Asqalani, Op.Cit, hlm.77
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis aya, bukan dari garis ibu.

Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wali adalah sebagai berikut:
1.      Ayah;
2.      Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas;
3.      Saudara laki-laki seayah seibu;
4.      Saudara laki-laki seayah saja;
5.      Saudara laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
8.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
9.      Anak laki-laki no. 7;
10.  Anak laki-laki no. 8 dan seterusnya;
11.  Saudara laki-laki ayah, seayah seibu;
12.  Saudara laki-laki ayah, seayah saja;
13.  Anak laki-laki no. 11;
14.  Anak laki-laki no. 12; dan
15.  Anak laki-laki no. 13 dan seterusnya.[18]
Singkatnya urutan wali diatas adalah:
1.      Ayah seterusnya ke atas;
2.      Saudara laki-laki ke bawah; dan
3.      Saudara laki-laki ayah kebawah.